Kamis, 07 Mei 2009

bunga anemone


Anemone terdiri dari beberapa jenis dan hanya dua jenis yang akan ditampilkan di sini: Anemone Nemorosa dan Anemone Blanda. Anemone Nemorosa berikut biasa disebut Wood Anemone, Windflower, European Timbleweed dan Smell Fox.

Anemone Nemorosa

Menyembul dari selah-selah batang pohon
yang sudah mati.
Ada yang sendiri.

Ada yang berdua dan ...

Bertiga

Yang kecil dengan 6 (kadang 7) kelopak
bercengkerama dengan serangga kecil.

Yang besar, yang berkelopak delapan, bercanda-ria
Dengan serangga yang lebih besar.


Anemone Blanda atau Greek Windflower berikut
mempunyai 16 helai kelopak.


Seperti halnya keluarga Anemone Nemorosa,
Anemone Blanda yang tidak ada kaitan
dengan negeri Belanda ini
ada yang hidup dan mekar sendiri,
berpasangan
ataupun berkelompok.


Selain berwarna putih,
Anemone Blanda ada juga yang
berwarna biru terang
dan biru ke-ungu-unguan.

Anemone berwarna terang ini pun
ada yang hidup berkelompok,
bergandengan,
dan sendirian.

Anemone Blanda yang berwarna putih
maupun biru ini,
tak jarang dihinggapi oleh serangga
yang menyukai serbuk madu bunga tersebut.

Menurut Wikipedia, Anemone tidak berbau dan tidak memiliki nektar atau sari bunga sebagai alat penarik serangga. Sumber yang sama menyebutkan bahwa beberapa ahli menemukan bunga Anemone melakukan penyerbukkan sendiri dalam artian serbuk sarinya berasal dari bunga yang sama. Masih menurut Wikipedia, pada tahun 1985, Shirreffs membuktikan bahwa bunga ini diserbuki oleh serangga dan kumbang yang datang untuk mengisap madu. (Dalam ilmu biologi, peristiwa penyerbukkan dengan perantaraan serangga ini disebut entomogami.) Kedua gambar terakhir mungkin dapat memberi ilustrasi bahwa ada serangga dan kumbang yang hinggap di bunga Anemone ini.

Serangga bukanlah satu-satunya perantara dalam mensukseskan penyerbukkan dan pembuahan pada tumbuh-tumbuhan. Angin, air dan manusia pun dapat berfungsi sebagai perantara yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta demi kelangsungan hidup ekosistim. Apapun atau siapapun perantaranya, fungsi bunga dalam hal ini dapat dikatakan "pasif," sementara itu angin, air dan manusia boleh disebut "aktif" karena posisinya yang dapat "bergerak". Akan tetapi, apabila manusia menjadi perantaranya, keaktifan ini tentu saja ada yang mempunyai unsur kesengajaan dan ada yang direncanakan. Dengan kemampuan intelektualnya, manusia, pria dan wanita, boleh dikata dapat "mengatur" angin, serangga dan air untuk menjadi perantara. Dengan kata lain, untuk dapat berkembang-biak, tanaman membutuhkan peran aktif dari manusia, termasuk perantara lain seperti air, serangga dan angin.

Berbicara mengenai bunga dan wanita, wanitalah yang acapkali diidentikkan dengan bunga, sedangkan pria, kumbang. Pertanyaannya apakah seluruh wanita mau dan suka disamakan dengan bunga yang "pasif?" Tradisi sudah mewariskan bahwa prialah yang membeli/memberi bunga kepada wanita bukan sebaliknya. Bahkan ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang berbunyi: Say it with flowers.

Pada awal sejarahnya, di zaman Victoria Inggris, bunga (dan juga tanaman, biasanya yang ada dalam pot) digunakan secara aktif, baik oleh pria dan wanita, untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka. Dalam perkembangannya, di negara-negara tertentu, misalnya Indonesia, untuk urusan bunga ini sepertinya hanya prianyalah yang berperan aktif. Maksudnya ada pengertian umum bahwa prialah yang membeli dan memberi bunga kepada wanita. Prialah yang dapat menyatakan pikiran dan perasaannya melalui bunga. Sementara itu wanita "ditakdirkan" sebagai si penerima dan menjadi harapan sesuai dengan bunga yang direpresentasikan oleh si pemberi. "Pergeseran" kebiasaan ini tentu saja tak lepas dari perilaku konsumen, peranan media dan advertising gimmicks.

Kembali kepada para pemeran aktif dalam penyerbukkan Anemone, air, angin, dan hewan mungkin dapat dikatakan sebagai perantara anonim, yang mungkin jarang atau bahkan tidak pernah bicara, dikutip, dicatat maupun ditelusuri dalam sejarah secara spesifik. Mereka adalah "perantara silent" yang kadang merangkap sebagai penikmat bunga. Dilain pihak, manusia sebagai perantara relatif lebih sering diidentifikasikan dengan nama dan bahkan dikaitkan dengan profesinya sekaligus.

Seberapa pentingnyakah peran para anonim? Sampai sejauh manakah anonimitas seseorang dapat terjaga? Menjadi dan memutuskan menjadi anonim, sudah menjadi hak tiap individu dan kita harus menghormatinya. Anonymous dalam pakem jurnalisme juga berlaku. Sering kita membaca suatu reportase dimana tertulis "dari sumber yang dapat dipercaya" atau "dari seseorang yang keberatan namanya dicantumkan." Apakah keakuratan sumber berita tersebut serta-merta kita ragukan? Tentu saja kita tak dapat menutup mata pada kenyataan dimana ada kasus anonimitas yang tak dapat diandalkan dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan alias fiktif, non-existing, yang bukannya membawa nikmat, tetapi sengsara bahkan huru-hara.

Terkadang kita juga membaca dan melihat wawancara yang sebagian sifatnya off the record, masih adakah celah untuk mempublikasikannya? Nara sumber kadangkala perlu untuk menegaskan posisinya terkait dengan komentar atau argumen yang disampaikan dengan menyatakan bahwa tulisannya atau pendapatnya merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili instansi atau afiliasi yang berhubungan dengan dirinya.

Pendapat atau komentar yang anonim dapat menguntungkan bagi komentator dan yang dikomentari. Kritik atau pujian bisa dilancarkan dengan jitu, kritis dan tepat pada sasaran (baca: pada esensi tulisan), tanpa dibayangi oleh rasa ewuh-pekewuh, rasa tak nyaman dan lepas dari "kebudayaan" lip-service dalam mengungkapkan pendapat kita terhadap wacana yang sedang dibahas.

Ketika mencari lirik dan judul lagu seperti dikutip diawal tulisan ini, terkuaklah sedikit fungsi dan peran dari anonim ini, yang dimulai dari pencarian lirik lagu Mawar Merah hingga "bersirobok" dengan Jacques Derrida. Dalam salah satu tulisannya di SmritaCharita yang berjudul Derrida Tiada Akhir, si penulis, Maya Notodisurjo, menyatakan:

"Anonimitas lawan bicara dalam banyak kasus adalah sesuatu yang bagus, karena membuat kita lebih fokus pada tulisannya. Mengurangi bias dari persepsi kita tentang siapa yang bicara."

Sebagai tambahan, apabila kita benar-benar ingin mencerdaskan bangsa dan negara, ingin mengajak suatu kominitas untuk membudayakan menulis dan mengeluarkan pendapat, ingin belajar berdemokrasi, selaiknyalah kita memberi kebebasan untuk berargumentasi yang "bebas" dan "sehat" tanpa terbelenggu oleh batasan-batasan yang mengikat kita dalam perbedaan senioritas, gender, domisili, serta atribut lainnya.

Membahas mengenai Perang Melawan Kebodohan, Rajawali menulis di Apakabar dan menyimpulkan: "Jadi anonimitas itu atribut penting untuk menjaga kebebasan beradu kepala."

Apabila ada Anemone tumbuh di hutan, selain daripada nature lover, mungkin sebagian besar dari kita tidak begitu memperdulikannya. Apabila Anemone itu tumbuh di halaman orang lain, ada baiknya kita membiarkan segala nasib tentang Anemone itu di tangan pemiliknya.

Apabila kita memperoleh kepercayaan untuk memelihara tanaman Anemone ini, sangat logis dan masuk akal sekali apabila kita memperlakukan bunga itu sesuai dengan kehendak dan harapan kita. Apakah kita mau memberinya pupuk, memangkasnya, atau memindahkannya ke dalam pot mewah semua keputusan itu ada ditangan kita. Namun, meskipun kita berperan sebagai pemain/pemilik tunggal atau pemegang saham, seyogjanya kita perlu mengenal kata "kompromi." Kompromi yang berazaskan "mayoritas" (majority rule) dan mayoritas yang didasari oleh (hitam di atas putih) data statistik, polling dan mungkin oleh SMS. Aha! What the heck is democracy?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar